kebohongan dan perannya di kehidupan sosial

Maaf  kepada Anda yang moralis dan percaya bahwa kebohongan adalah penyimpangan berat dalam hidup manusia, karena ternyata kebohongan adalah bagian dari hidup manusia sehari-hari. Bohong sama sekali bukan peristiwa yang luar biasa atau langka. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwasanya dalam seminggu seseorang melakukan kebohongan antara 0 atau tidak sama sekali, sampai 46 kali kebohongan. Artinya ada orang yang melakukan kebohongan rata-rata sampai 6 kali dalam sehari.


Penelitian itu juga menemukan bahwa masyarakat umumnya melakukan kebohongan minimal 1 kali dalam satu hari interaksi dengan orang lain. Mahasiswa melakukan rata-rata 2 kebohongan setiap hari. Mereka berbohong 1 kali dalam setiap 3 kali interaksi. Artinya sepertiga interaksi yang dilakukan mengandung kebohongan. Luar biasa bukan?!

Tentunya ada alasan mengapa bohong secara masif dilakukan, bahkan oleh semua kelompok umur. Satu yang pasti adalah karena bohong menguntungkan, baik bagi pelakunya maupun bagi kehidupan sosial. Keuntungan bagi pelaku kebohongan sangat jelas, entah itu untuk keuntungan psikis maupun keuntungan material. Dalam interaksi sosial, bohong menjadi sarana bagi seseorang untuk melakukan manajemen kesan, mengatur emosi, dan memberikan dukungan sosial. Lalu apa keuntungan bagi kehidupan sosial?

Kebohongan dalam masyarakat rupa-rupanya menjaga terciptanya lingkungan sosial yang erat. Bohong merupakan perantara bagi banyak orang untuk menunjukkan dukungan sosial kepada yang lainnya. Pada saat kesusahan, berbagai basa basi menunjukkan perhatian dan keprihatinan, yang tentunya banyak mengandung kebohongan, diucapkan. Tidak lain untuk menunjukkan adanya saling dukung dalam masyarakat. Dan semua orang mahfum belaka adanya kebohongan itu.

Bohong juga dilakukan untuk menciptakan keteraturan dan menjamin bahwa tata krama dalam masyarakat diterapkan. Bayangkan, jika seseorang selalu mengatakan apa adanya pendapat pribadinya pada orang lain, maka yang ada hanyalah geger sosial. Apa mungkin Anda mengatakan jelek anak tetangga Anda yang memang jelek, di depan orangtuanya? kalau mengatakan begitu Anda akan tidak punya teman. Semua tetangga bakal menghindari Anda.

Keramahtamahan jangan-jangan juga sering dihiasi ketidakjujuran. Mempersilakan mampir seseorang, padahal hati tidak ingin orang itu mampir, hal biasa bukan? Tapi toh setiap orang telah mengerti, bahwa ramah-tamah semacam itu, tidaklah bermaksud sungguhan, sehingga ya menolak. Jikalau menerima tawaran untuk mampir, malah mungkin dianggap kurang ajar.


Apakah ada hubungan kebohongan dengan bentuk masyarakat tertentu?
Tidak ada masyarakat yang pernah diketahui, yang sama sekali terbebas dari bohong. Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua bentuk masyarakat yang ada di dunia ini, terdapat perilaku bohong diantara anggota-anggotanya. Mengapa demikian?

Pertama, bohong tumbuh pada masyarakat yang memiliki perbedaan kelas-kelas sosial. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang menjadi atasan, ada yang menjadi bawahan. Ada yang berkuasa ada yang tidak, dan seterusnya. Selama ada kelas-kelas sosial tersebut, adalah muskil untuk meniadakan kebohongan. Kelas sosial berimplikasi pada munculnya beragam tata krama untuk menyesuaikan perilaku dengan kelas-kelas sosial yang ada. Seseorang dari kelas sosial rendah diharapkan berbeda dalam bersikap dan berperilaku menghadapi kelas sosial yang setara maupun yang lebih tinggi. Seorang bawahan diharapkan akan berbeda cara dalam menghadapi sesama bawahan dengan menghadapi atasan. Persetujuan lebih sering diberikan kepada atasan.

Perbedaan kelas sosial menunjukkan adanya hirarki. Seseorang yang lebih baik dari segi apapun, baik itu harta, pengetahuan, penampilan atau lainnya, tentu akan menempati hirarki lebih tinggi dibandingkan yang lain. Nah, agar seseorang menempati posisi lebih tinggi dalam hirarki maka orang-orang berupaya melakukan manajemen kesan supaya terlihat lebih baik.

Kedua, bohong tumbuh pada masyarakat yang relasi sosialnya terdapat dominasi. Seseorang tentu akan menghadapi yang lebih berkuasa dengan cara berbeda dengan ketika menghadapi yang kurang berkuasa. Jika Anda selalu membangkang yang berkuasa, bukankah Anda akan mendapat kesulitan? Pada saat seorang anak berbohong pada orangtuanya, tidak lain karena orangtua mempunyai dominasi kekuasaan. Sang anak khawatir akan mendapatkan hukuman dari orangtua jika mengatakan kebenaran, dan oleh karena itu diungkapkanlah kebohongan. Pada saat Anda berbohong pada penagih hutang, bukankah karena dalam hubungan itu, si penagih hutang adalah pihak yang dominan?

Ketiga, bohong tumbuh pada masyarakat yang mengajarkan kepatuhan. Setiap kepatuhan diharapkan maka juga melahirkan kebohongan. Pada masyarakat dimana tata aturan norma sangat berat dan dimana pelanggaran dijatuhi hukuman berat, bukankah menjadi wajar jika melakukan kebohongan untuk menghindari kesulitan?

Adakah bentuk masyarakat tanpa kebohongan? Pertanyaannya justru adakah masyarakat yang benar-benar setara, dimana tidak ada kelas sosial, tidak ada relasi yang mendominasi, tidak ada tata aturan norma yang mengikat kepatuhan? Sebab hanya masyarakat yang setara yang bisa menghindarkan terjadinya kebohongan.
Terdapat satu lagi bentuk masyarakat yang memungkinkan memunculkan perilaku bohong lebih sering, yakni masyarakat yang mengharapkan anggota-anggotanya menunjukkan perhatian lebih besar dalam bentuk dukungan sosial, dukungan emosional atau kepedulian.

Pada bentuk masyarakat yang mengajarkan moral demikian itu, maka anggota-anggotanya akan berusaha sedapat mungkin mewujudkannya meskipun dalam bentuk kebohongan. Bukankah Anda akan disebut kurang ajar jika pada saat ada kematian tetangga, Anda menyetel musik keras-keras?! Bahkan meskipun Anda tidak turut berduka, Anda toh tetap harus menunjukkan perilaku berduka.

Budaya masyarakat Indonesia yang banyak menempatkan sopan santun dan unggah-ungguh atau tata krama dalam pergaulan memberikan pengaruh terhadap perilaku bohong. Misalnya budaya jawa yang melarang anak mengatakan tidak pada orangtuanya meskipun tidak menjalankan apa yang diperintahkan, jelas mendorong terjadinya perilaku bohong.

Pada saat atasan Anda meminta Anda mencoba masakan buatannya, apakah Anda akan mengatakan tidak enak, meskipun Anda merasakannya tidak enak? Anda hanya diharuskan untuk mengatakan enak, meski toh sang atasan cukup menyadari bahwa masakannya memang tidak enak. Jadi, sebenarnya tidak ada ruginya mengatakan apa adanya. Tapi ya itu, demi tata krama, maka bohong mengatakan enak adalah yang paling lazim dilakukan.

Apakah bohong bisa dibenarkan secara moral?
Nyaris semua panduan moral, baik yang berasal dari ajaran agama, adat maupun konvensi bersama, menyebutkan bahwa kebohongan sebagai perilaku tidak bermoral. Tidak ada yang menganjurkan kebohongan. Bentuk masyarakat yang dicita-citakan setiap agama adalah bentuk masyarakat yang dipenuhi kejujuran. Akan tetapi jika kebohongan memang tidak bermoral, mengapa kebohongan sedemikian luas dilakukan? Jawaban yang bisa diberikan barangkali karena berbohong memang memberikan banyak manfaat kepada pelakunya.

Panduan agama, dalam hal ini saya mengambil contoh Islam, tidak secara tegas melarang semua bentuk kebohongan. Ada kebohongan yang sama sekali dilarang, namun ada juga kebohongan yang diperbolehkan. Ini berarti meskipun kebohongan dinilai tidak memenuhi nilai moral, tapi ia sudah merupakan fakta sosial sehari-hari, yang oleh karenanya tidak mutlak dilarang. Islam bahkan memberikan panduan mengenai bohong-bohong apa saja yang diperbolehkan. Artinya pula, seseorang dianggap berbohong akan sangat  tergantung situasi etiknya.

Hanya ada dua kategori kebohongan yang tidak ditoleransi dalam Islam, yakni berbohong mengingkari Allah SWT dan  berbohong mengingkari Nabi Muhammad SAW. Selebihnya bisa ditoleransi tergantung konteksnya. Beberapa jenis kebohongan yang diijinkan dalam Islam adalah :
  1. Menyelamatkan seseorang
  2. Memberi efek terhadap perdamaian atau rekonsiliasi konflik
  3. Dalam situasi melakukan perjalanan dimana jika jujur akan membahayakan perjalanan.
Permakluman yang diberikan kepada perilaku bohong sangat beragam tergantung konteksnya. Membohongi seribu rupiah pada orang kaya akan lebih dimaklumi ketimbang membohongi 1000 rupiah pada anak yatim. Masyarakat akan sangat mengecam mereka yang membohongi anak yatim, tapi justru bisa jadi malah memuji mereka yang berhasil membohongi orang kaya. Bohongnya anak-anak biasanya juga jauh lebih dimaklumi daripada bohongnya orang dewasa. Jadi, kebohongan sebetulnya sesuatu yang sangat liat. Kadang dimaklumi, kadang dikecam tergantung konteksnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer